Gampong Kumba pada waktu awalnya masih merupakan sebuah Kampung kecil yang terletak disudut kota Uleegle, Bandar Dua. Sebelah timur membentang aliran sungai dari krueng lhok gop, yang tiap tahun airnya meluap sasaran biasanya desa Alue ketapang, dan desa Babah krueng, sedang desa Kumba sendiri jauh dari banjir karena tingginya daratan di bandingkan dengan desa-desa lainnya yang dekat dengan bibir krueng tersebut.
Dari dalam terkesan desa ini di kelilingi oleh pesawahan dan hutan belantara yang cukup lebat, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian dan terkesan angker, maklum pada waktu itu sekitar tahun tujuh puluhan, jalannyapun masih tanah bercampur bebatuan.
Disaat penerangan belum ada, penerangan hanya dengan memanfaatkan Oncor/obor (ruas bambu kering yang diisi minyak dan disumbat dengan segumpal kain, untuk sumber nyala apinya), Oncor inilah yang digunakan sebagai satu-satunya alat penerangan dan hampir disetiap rumah menggunakan alat penerangan tradisional ini.
Seiring dengan berjalannya waktu desa ini juga ikut maju dan moderen, tak pelak arus globalisasi dapat merobah segalanya termasuk desa terpencil sekalipun, dengan pemasukan aliran listrik oncor terpaksa pamitan, Nasib sama juga di alami bedug yang dulunya dijadikan sarana yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik.
Di Aceh, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu sholat atau sembahyang.
Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.
Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.
Alat tradisional ini juga sudah langka terlihat selepas adanya pengeras suara berupa miep dan sejenisnya. Mungkin masih banyak hal-hal lain yang telah tergantikan dibawa ombak global yang serba canggih, bahkan adat istiadat juga ikut terbawa dan punah tampa jejak andai kita terlena dengan kemajuan jaman sehingga lupa akan sesuatu yang telah lama turun temurun dari nenek moyang kita. Hanya sebagian dari mareka yang pandai melestarikan adat leluhur mareka dari kejamnya era 21 ini. Begitulah lembaran silam desa tersebut yang sekarang tentu jauh berbeda.
Beralih ke masa kini, Menelusuri Gampong Kumba, akan terasa seperti berada di sebuah desa hijau. Desa yang sekarang di nahkodai oleh geusyik (kepala desa)red Sulaiman R ini terdiri dari 4 dusun, kumba jaya, dusun kuta trieng, meunasah papeun, dan dusun blang reuleue. Di Desa yang udaranya belum tercemar ini juga terdiri sebuah organisasi islam/pesantren ‘Annur Al aziziyah” , Yang di pimpin oleh sesosok yang berwibawa, peramah, and sederhana dialah Walet Muhammad nur, penuntun warga desa kumba ke jalan yang lebih ter arah.
Walet Nur salah satu dari alumni dayah mudi mesra samalanga Aceh jeumpa, Saking fahamnya dalam bidang religi, tak sedikit warga yang di tempat lain meminang beliau supaya sudi tinggal/menetap di desanya, bahkan semua kebutuhan di sediakan oleh penanggung tempat, namun beliau lebih memilih menetap di tanah kelahiranya desa kumba, dengan tujuan agar regenerasi desa kumba lebih maju dalam bidang agama.
Sebuah mesjid dengan ornamen bergaya Turky yang berdiri kokoh di sana barang kali bisa menjadi landmark bagi gampong yang dihuni ±300 KK ini.
Masa sebelum adanya mesjid yang mulanya hendak dinamai jabal nur yang bermakna “Cahaya pegunungan” ini, masyarakat kumba masa itu tergolong dalam kemukiman mesjid ‘BabusSalam’ uteun bayu, Saban jum’at mareka ke sana menunaikan kewajiban, ada pula sebagian warga yang lansung ke mesjid ‘Al Istiqamah’ Uleegle di kecamatan Bandar Dua, sembari berbelanja segala kebutuhan.
Alhamdulillah dengan berdirinya mesjid ‘Babul Mubarakat’ di desa kumba, warga tak lagi repot jika hari jum’at tiba.
Dayah ‘Annur Al Aziziah’ berada dalam komplek mesjid ini pula, dimana saban malam begitu pula harinya rame insan yang menimba ilmu, jika harinya khusus anak TPA, malamya jatah bagi remaja, bagi kaum ayah-ayah kamis malam, itupun tergantung dusun, ada pula selasa malam atau minggu malam, sabtu malam agenda wirid (Tahlilan)red bersama di mesjid, Sedang jum’at pagi jatahnya kaum ibu-ibu